Dear Jurnal,
Mencintai itu menyakitkan, lebih menyakitkan daripada kehilangan. Saat kita kehilangan, sesaat kita akan berpikir bahwa akankah kita mampu menjalani hidup di kedepannya. Namun, apa yang terjadi, esok kan datang begitu saja tanpa permisi, dan satu hari terlewati, satu kekhawatiran terlewati tanpa alasan, seolah mereka menertawai kegelisahan kita kemarin. Namun tidak begitu adanya dengan mencintai. Rasa yang begitu kuat itu terasa memiliki, seolah ada yang berkata bahwa aku berhak tidak sekadar untuk mencicipi namun juga memiliki, dan kemudian mengatur agar sesuai seperti mauku. Saat ekspektasi dan rasa sayang melebur menjadi sebuah nilai yang sangat tinggi, dan saat itu tidak terwujud hanya karena ego dan asumsi, mencintai itu jadi terasa seperti memegang mata pisau pada sebilah tangan yang sudah luka... sakit. Jurnal, ini sudah bulan kesekian aku hampir tidak bertemu dengan dia. Andai kau mampir dalam mimpi mimpinya, tolong sampaikan betapa aku sangat mencintai dia. Teramat sangat hingga aku melukai diri sendiri tiap harinya hanya untuk memikirkan apakah dia baik baik saja, ataukah sedang sedihkah dia. Jurnal, cinta itu membuat segalanya menjadi buta, Membuat mimpi yang tak mungkin menjadi sering berkunjung ke angan. Seperti membangkitkan senyum dari loteng yang sudah berdebu. Indah...Namun jurnal, aku juga membutuhkan kewarasan realita. Aku sudah sampai pada titik dimana aku sudah tidak tahan lagi pada keadaan ini. Tolong katakan kepadanya aku sudah berhenti untuk menyalahkan siapapun, dan aku tidak akan alagi menyalahkan siapapun, termasuk dia. Aku hanya ingin dia maju dari keterpurukannya, ingin membantunya melalui hari hari yang (ia kata) berat. Aku sudah pernah mencoba dengan cara yang halus, pun pernah kucoba dengan cara yang kasar. Namun sepertinya tidak mempan. Sekarang aku akan tinggalkan ia untuk mencobanya sendiri. Aku tak akan lagi memberinya ikan, tapi aku masih akan (mencoba) memberinya umpan. Jurnal, aku juga punya keluarga yang membutuhkan dukungan dan pertolongannku, and most of all, aku memiliki "diriku sendiri" yang sudah lama kutelantarkan dan hampir tidak pernah kuurus. Terlalu sibuk memikirkan kekhawatiran tak beralasan dan terlalu sibuk mengkhawatirkan tentang dia. Aku juga hanya manusia yang membutuhkan kewarasan realita, membutuhkan tidak hanya sekedar kata, tapi usaha untuk bertemu. Aku membutuhkan ia ada di sampingku, sesekali waktu, meski tidak setiap hari. Namun ia tidak ada. Aku membutuhkan dia untuk membuatku tersenyum, untuk menemaniku lari sore, atau sekadar menemaniku makan bakso, atau menikmati udara malam. Aku pernah datang jauh jauh meluangkan waktu untuk menemani dia. Namun sekarang biarkan dia yang datang menemuiku. Keadaan seperti ini, tanpa komunikasi yang jelas, tanpa kehadiran yang tampak, hanya membuatkau gila.... dan semakin gila. Jurnal, tolong sampaikan kepadanya bahwa tiap malam aku hanya menahan tangis untuk bisa dipeluk, untuk bisa memeluk, atau sekadar mendengar gurau candanya. Setiap hari aku berjuang melawan sakit masa kecilku, pengkerdilanku sedari kecil, aku membutuhkan belaian tangannya hanya untuk mengamini bahwa aku masih hidup. Dekat, namun seolah tidak ada usaha untuk bertemu. Akan ada beribu alasan untuk tidak bertemu. Maka, aku memilih untuk memutuskan semua jalur. Karena percayalah, jalan terbaik untuk menjadi manusia yang lebih baik, menuju kesuksesan, menuju keberlimpahan, menuju kedewasaan, adalah dengan menghindar dari emosi yang negatif. Dan komunikasi yang sedang kita alami setahunan terakhir ini, amat sangat negatif. Dear jurnal, aku hanya akan menemuinya kembali, jika saatnya tiba, jika kita sudah sama sama "siap" dan tidak lagi mempersalahkan keadaan. Aku sedang belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang lebih dewasa, dan menjadi lebih sukses di keuangan dan kehidupan, karena aku telah menyianyiakan terlalu banyak waktuku untuk mengkhawatirkan mereka semua yang belum tentu memikirkan aku.
Jurnal, biarkan ia bertemu denganku.... jika saatnya tiba.
Bukan Sayonara, tapi sampai jumpa.
Salam berbalut rindu,
Putu
Bukan Sayonara, tapi sampai jumpa.
Salam berbalut rindu,
Putu
No comments:
Post a Comment