September 26, 2011

Sampai jumpa...

Dear Jurnal,

Mencintai itu menyakitkan, lebih menyakitkan daripada kehilangan. Saat kita kehilangan, sesaat kita akan berpikir bahwa akankah kita mampu menjalani hidup di kedepannya. Namun, apa yang terjadi, esok kan datang begitu saja tanpa permisi, dan satu hari terlewati, satu kekhawatiran terlewati tanpa alasan, seolah mereka menertawai kegelisahan kita kemarin.

Namun tidak begitu adanya dengan mencintai. Rasa yang begitu kuat itu terasa memiliki, seolah ada yang berkata bahwa aku berhak tidak sekadar untuk mencicipi namun juga memiliki, dan kemudian mengatur agar sesuai seperti mauku. Saat ekspektasi dan rasa sayang melebur menjadi sebuah nilai yang sangat tinggi, dan saat itu tidak terwujud hanya karena ego dan asumsi, mencintai itu jadi terasa seperti memegang mata pisau pada sebilah tangan yang sudah luka... sakit.

Jurnal, ini sudah bulan kesekian aku hampir tidak bertemu dengan dia. Andai kau mampir dalam mimpi mimpinya, tolong sampaikan betapa aku sangat mencintai dia. Teramat sangat hingga aku melukai diri sendiri tiap harinya hanya untuk memikirkan apakah dia baik baik saja, ataukah sedang sedihkah dia.

Jurnal, cinta itu membuat segalanya menjadi buta, Membuat mimpi yang tak mungkin menjadi sering berkunjung ke angan. Seperti membangkitkan senyum dari loteng yang sudah berdebu. Indah...

Namun jurnal, aku juga membutuhkan kewarasan realita. Aku sudah sampai pada titik dimana aku sudah tidak tahan lagi pada keadaan ini. Tolong katakan kepadanya aku sudah berhenti untuk menyalahkan siapapun, dan aku tidak akan alagi menyalahkan siapapun, termasuk dia.

Aku hanya ingin dia maju dari keterpurukannya, ingin membantunya melalui hari hari yang (ia kata) berat. Aku sudah pernah mencoba dengan cara yang halus, pun pernah kucoba dengan cara yang kasar. Namun sepertinya tidak mempan. Sekarang aku akan tinggalkan ia untuk mencobanya sendiri. Aku tak akan lagi memberinya ikan, tapi aku masih akan (mencoba) memberinya umpan.

Jurnal, aku juga punya keluarga yang membutuhkan dukungan dan pertolongannku, and most of all, aku memiliki "diriku sendiri" yang sudah lama kutelantarkan dan hampir tidak pernah kuurus. Terlalu sibuk memikirkan kekhawatiran tak beralasan dan terlalu sibuk mengkhawatirkan tentang dia.

Aku juga hanya manusia yang membutuhkan kewarasan realita, membutuhkan tidak hanya sekedar kata, tapi usaha untuk bertemu. Aku membutuhkan ia ada di sampingku, sesekali waktu, meski tidak setiap hari. Namun ia tidak ada. Aku membutuhkan dia untuk membuatku tersenyum, untuk menemaniku lari sore, atau sekadar menemaniku makan bakso, atau menikmati udara malam. Aku pernah datang jauh jauh meluangkan waktu untuk menemani dia. Namun sekarang biarkan dia yang datang menemuiku.

Keadaan seperti ini, tanpa komunikasi yang jelas, tanpa kehadiran yang tampak, hanya membuatkau gila.... dan semakin gila.   Jurnal, tolong sampaikan kepadanya bahwa tiap malam aku hanya menahan tangis untuk bisa dipeluk, untuk bisa memeluk, atau sekadar mendengar gurau candanya. Setiap hari aku berjuang melawan sakit masa kecilku, pengkerdilanku sedari kecil, aku membutuhkan belaian tangannya hanya untuk mengamini bahwa aku masih hidup.

Dekat, namun seolah tidak ada usaha untuk bertemu. Akan ada beribu alasan untuk tidak bertemu.

Maka, aku memilih untuk memutuskan semua jalur. Karena percayalah, jalan terbaik untuk menjadi manusia yang lebih baik, menuju kesuksesan, menuju keberlimpahan, menuju kedewasaan, adalah dengan menghindar dari emosi yang negatif. Dan komunikasi yang sedang kita alami setahunan terakhir ini, amat sangat negatif.

Dear jurnal, aku hanya akan menemuinya kembali, jika saatnya tiba, jika kita sudah sama sama "siap" dan tidak lagi mempersalahkan keadaan. Aku sedang belajar untuk menjadi manusia yang lebih baik, manusia yang lebih dewasa, dan menjadi lebih sukses di keuangan dan kehidupan, karena aku telah menyianyiakan terlalu banyak waktuku untuk mengkhawatirkan mereka semua yang belum tentu memikirkan aku.


Jurnal, biarkan ia bertemu denganku.... jika saatnya tiba.
Bukan Sayonara, tapi sampai jumpa.


Salam berbalut rindu,


Putu

September 20, 2011

Biological basic need of human (straight, gay, lesbian, whatever)

Apa sih kebutuhan dasar biologis kita sebagai manusia? Sex.
Ya, hubungan seksual dua individu, yang meminjam kata dari Butet, silaturahmi kelamin.

Mungkin karena kebutuhan dan alasan ini pulalah manusia diciptakan berpasangan, lelaki dan perempuan, dengan alat reproduksi yang dibuat “pas” dengan pasangannya. Dan mungkin karena kebutuhan dasar ini pulalah pasangan sejenis pun akan selalu menemukan “jalan” untuk memenuhi kebutuhan biologisnya dengan pasangannya.

Kebutuhan biologis. Hmmm, inilah topik yang tiba tiba mencuat kemarin malam ketika salah seorang teman Bapak datang berkunjung ke rumah. Dari sekian banyak topik yang diperbincangkan dan diperdebatkan, entah dari mana, kemudian muncul perbincangan tentang kebutuhan biologis ini. Mungin awal mulanya ketika ia mengungkapkan cerita mengenai salah seorang teman sejawatnya yang hingga kini masih saja bekerja di kapal pesiar dan belum kunjung menikah.

Namun topik kemudian meloncat kepada salah satu sanak saudaranya yang juga bekerja di kapal pesiar hingga bertahun tahun, meski sudah menikah. Yah begitulah, orang orang Bali (lelaki Bali) memang cukup terkenal sering mengambil jalan bekerja di kapal pesiar untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka dan “keluarga” (someday I'm gonna tell you about this).

Nah, kembali kepada cerita saudaranya yang bekerja di kapal pesiar. Hingga anaknya sudah dua, ia masih saja bekerja di kapal pesiar, dan hal ini menyebabkan rumah tangga mereka agak sedikit kurang harmonis. Bagaimana tidak, bayangkan saja, seorang istri yang ditinggal bekerja delapan hingga sebelas bulan berlayar di kapal pesiar, dan pulang hanya satu hingga dua bulan, sering kali “hanya” dititipkan benih untuk kemudian dibiarkan tumbuh dalam janin. Bagaimana si istri bisa menahan gejolaknya untuk memenuhi kebutuhan biologisnya?

Itu baru dari cerita si istri. Bagaimana dengan kebutuhan biologis si suami selama berlayar? Bukankah sudah rahasia umum bahwa laki laki jauh lebih susah menghindari godaan dan menahan nafsu biologisnya ketimbang perempuan...

Cerita ini hanyalah salah satu dari sekian banyak pasangan pasangan muda di Bali yang ditinggal berlayar bertahun tahun. Yep, apalagi yang namanya pasangan muda. Saat hasrat untuk berjibaku di atas ranjang sedang tinggi tingginya, kemudian ditinggal berbulan bulan? Hmmm.... tebak sendiri deh.

Ada satu kalimat si bapak itu yang masih terekam di benak hingga sekarang, “Kebutuhan seks yang sehat itu perlu banget untuk keharmonisan keluarga. Coba deh, seminggu saja suami istri tidak ngeseks, bisa sakit kepal! Apalagi buat pasangan yang masih muda”.
(hmmm, I couldn't agree more - manggut manggut)

Nah itu baru cerita dari pasangan hidup laki laki dan perempuan. Bagaimana jadinya kalau pasangan hidupnya sesama laki laki? Yang notabene ego dan nafsu nya juga sama sama besar? No wonder Long Distance Relationship (LDR) bagi pasangan sejenis itu susah banget (bukan berarti tidak mungkin lo!).

(fiuhh, jadi wondering nih apa yang bakal terjadi kalau si penulis yang sedikit hyper ini gak dapet pelampiasan biologisnya dalam waktu lama... arrrggghh bisa gila mamen!)

September 2, 2011

Caught red handed (again)

Ini sudah kesekian kalinya dalam 3 tahun terakhir ini aku bermimpi buruk. Bahkan mungkin sudah lebih dari 5 kali. Mimpi ketahuan, tertangkap basah bahwa aku memilikie kecenderungan seksual yang berbeda.

Seperti diingatkan, tapi entah diingatkan untuk apa?
Dan lakon yang mampir di mimpi mimpiku itu berbeda beda, seolah semuanya berebut mengambil peran untuk menertawaiku dan mencibirku di mimpi mimpi itu...

Ya, sebagian besar dari mereka mencibirku di mimpi terdahulu. Mulai dari teman sekolahku, saudaraku sendiri, teman sekerjaku, dan pagi tadi seorang kolega dekat wanita berkewaganegaraan Perancis yang bekerja di Bali. Mimpi kali ini bercerita bahwa ia menangkap basahku karena melihat koleksi foto foto vulgar yang ada dalam komputerku. Anehnya, alih alih mencibirku, ia merasa iba keapadaku dan kemudian menaruh simpati dan berusaha untuk ikut menyembunyikan foto foto tersebut dari mereka yang berusaha melihat dan membuktikan kebenarannya.

Terima kasih untuk usahamu A... (meski hanya dalam mimpi), tapi tetap saja bukan lega tapi malah semakin gundah yang aku rasakan :(

Entah apa maksud semua ini? Apakah aku sudah harus mulai membuka diri dan coming out ke orang orang terdekatku? (jujur bersembunyi dalam cangkang selama ini dan being denial teramat sangat menyakitkan, living a life of everybody else but me)